Padang, terbetik.com-Gelombang penolakan SKB 3 menteri terus berdatangan. Di Sumbar, tokoh masyarakat dari berbagai ormas berkumpul dan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) di gedung DPRD Sumbar. Dihadapan anggota dan pimpinan dewan, mereka mengajukan permintaan revisi SKB 3 menteri. Atas nama ormas dan elemen masyarakat, hasil kesepakatan tersebut akan disampaikan kepada pemerintah pusat. Diantara tokoh dan ormas yang hadir adalah Ketua MUI Sumbar Buya Gusrizal Gazahar, Ketua LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) M Sayuti Datuak Rajo Panghulu, Bundo Kanduang, Sekretaris NU Sumatera Barat Sulaiman Tanjung, mantan Wali Kota Padang Fauzi Bahar, Aisyiyah, Muhammadiyah, Tarbiyah, Dewan Pendidikan, dan sejumlah ormas lain.
Mereka berpandangan, SKB soal seragam sekolah yang dikeluarkan tidak sesuai dengan semangat konstitusi. Yakni UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 31 ayat 3 dan ayat 5. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa rujukan utama pendidikan adalah mendukung peningkatan keimanan dan menjunjung nilai agama.
Selain di Sumbar, MUI pusat juga memiliki pandangan yang sama. Lembaga ulama itu meminta pemerintah merevisi Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah. Terutama lembaga pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Menurut MUI, revisi diperlukan agar SKB 3 Menteri tersebut tidak memicu kegaduhan dan ketidakpastian hukum. Menurut MUI, ada beberapa ketentuan dalam diktum SKB yang berpotensi memicu polemik, misalnya berkaitan dengan tidak boleh mewajibkan siswa dan atau tenaga pendidik di sekolah mengenakan atribut kekhasan agama tertentu.
Pernyataan di dalam SKB harus diberi ruang batas dan harus diperjelas bahwa aturan berlaku hanya pada pihak yang berbeda agama. Sehingga tidak terjadi pemaksaan kekhasan agama tertentu pada pemeluk agama yang lain. Mestinya membuat kebijakan yang melonggarkan kepada sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah untuk membuat pengaturan positif yang arahnya menganjurkan. Misalnya membolehkan dan mendidik para peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agama sesuai keyakinannya, termasuk dalam berpakaian seragam kekhasan agama.
Lebih lanjut MUI memandang pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi penanaman nilai-nilai (transfer of values), dan pengamalan ilmu serta keteladan (uswah). Sekolah yang memerintahkan atau mengimbau peserta didik, dan tenaga kependidikan agar menggunakan seragam dan atribut yang menutup aurat, termasuk berjilbab. Karena ia merupakan bagian dari proses pendidikan untuk mengamalkan ilmu dan memberikan keteladanan.
Tidak ada yang salah sebetulnya dengan lembaga pendidikan yang memerintahkan siswa menggunakan seragam sesuai dengan perintah agama masing-masing. Sekolah bahkan perlu “memaksa” siswa-siswi untuk membudayakan nilai-nilai agama yang muaranya adalah iman dan takwa sebagaimana tuntutan undang-undang dan tujuan pendidikan nasional.
SKB tiga menteri seolah bagaikan pisau bermata dua. Tidak hanya berlaku bagi siswa, SKB juga mengatur tentang guru. Seharusnya orang yang menjadi teladan tidak perlu diatur soal seragam, khususnya guru agama. Guru agama memiliki kewajiban memberikan pemahaman soal beragama. Tentunya tetap diatur untuk memakai atribut keagamaan.
Guru PAI di tingkat SMP dan SMA/SMK juga mengajarkan materi pergaulan bebas dan pakaian menutup aurat. Materi yang diajarkan juga menegaskan, aurat perempuan itu seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.
Sebagaimana yang disebut dalam sabda Nabi SAW , ”Wahai Asma, perempuan apabila telah sampai umur haid (umur baligh), tidak boleh dilihat padanya kecuali ini dan ini. Baginda Rasulullah menunjukkan muka dan kedua telapak tangannya.” (Abu Daud dari Aisyah).
Jika menutup aurat merupakan kewajiban umat Islam, pakaian menutup aurat perempuan seperti jilbab, tidak bisa dijadikan sebagai pilihan. Mereka mesti dididik untuk menaatinya.
Membiarkan anak bebas memilih pakaian menutup atau membuka aurat, sama halnya membiarkan anak bebas memilih taat atau mengingkari ajaran agamanya.
Apabila busana muslimah merupakan perwujudan dari ketakwaan maka semestinya sekolah maupun pemerintah, harus mendorong bahkan mewajibkan pemakaian busana muslimah bukan sebaliknya.
Di samping itu, sekolah yang memerintahkan atau mengimbau peserta didik, dan tenaga kependidikan agar menggunakan seragam dan atribut yang menutup aurat, termasuk berjilbab, merupakan bagian dari proses pendidikan untuk mengamalkan ilmu dan menumbuhkan ketakwaan pada diri siswa sehingga mampu menjadi pribadi teladan. Terlebih ditengah kondisi remaja yang dilanda krisis moral.
Banyak data yang menyajikan fakta bahwa saat ini para remaja dirundung persoalan yang begitu kompleks. Seperti tidak sopan dan tidak memiliki rasa hormat kepada orang yang lebih tua, tidak menaati tata tertib di sekolah, berkata kasar dan merasa bangga, seks bebas di kalangan remaja dan tidak merasa bersalah dan lain-lain. Krisis moral yang dialami remaja tersebut tentu menjadi bagian dari persoalan pendidikan yang harus diselesaikan. Sedangkan penerbitan SKB 3 Menteri tersebut justru bertolak belakang dengan persoalan yang dialami para remaja ini yang notabene merupakan kalangan pelajar. (Abri Maijon)