Padang Panjang, terbetik.com-Sebanyak 162 KK terancam dikeluarkan dari Kota Padang Panjang. Hal itu menyusul kesepakatan tapal batas antara Kota Padang Panjang dan Kabupaten Tanah Datar yang sudah disepakati oleh dua kepala daerah.
Kenyataan itu membuat resah warga Nagari Gunuang, Kota Padang Panjang. Sebanyak 162 KK harus menjadi warga Tanah Datar, padahal mereka bermukim, ber-KK, ber-KTP, dan memiliki dokumen kependudukannya sebagai warga Kota Padang Panjang.
Keresahan warga disampaikan langsung kepada Gubernur Sumbar, Mahyeldi dan Ketua DPRD Padang Panjang, Mardiansyah. Gubernur bertemu langsung dengan warga Nagari Gunuang, Minggu (23/5).
Pemuka masyarakat, Masrizal Munaf mengemukakan keresahan warga Nagari Gunuang. ‘’Ada ratusan keluarga kami yang terancam dikeluarkan dari Padang Panjang, bila kesepakatan itu direalisasikan. Mereka bermukim di kampung yang selama ini masuk wilayah Kota Padang Panjang, yaitu Batutagak, Tanjuang, dan Gajah Tanang dalam wilayah Nagari Gunuang. Secara administrasi pemerintahan, masyarakat kita itu adalah warga RT 10 sebanyak 53 KK, RT 11 sebanyak 50 KK, dan RT 13 sebanyak 59 KK,’’ ujar Masrizal Munaf.
Masrizal menduga ada keteledoran dari kedua kepala daerah saat menandatangani nota kesepakatan tersebut. Untuk itu, masyarakat berharap agar kesepakatan itu bisa direvisi kembali sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri), sehingga warga yang selama ini menjadi bagian dari Kota Padang Panjang tidak terancam dikeluarkan, tersebab kesepakatan tapal batas yang ditandatangani kedua kepala daerah itu.
‘’Idealnya Kota Padang Panjang yang diperluas ke kawasan Batipuah dan X Koto, bukan malah dipersempit. Batutagak, Tanjuang, dan Gajah Tanang itu adalah bagian dari Gunuang. Nagari Gunuang menjadi penentu berdirinya Kota Padang Panjang. Sekarang, kenapa nagari itu yang dibelah, sehingga masyarakat menjadi resah,’’ sebut Masrizal.
Ketua RT 13 Kelurahan Ekor Lubuk Zulfa Hendra menyebutkan, sejak beredarnya kabar kampung mereka masuk wilayah Tanah Datar, sesuai informasi ada kesepakatan kedua kepala daerah, masyarakat menjadi resah dan gamang. Masalah ini, sebutnya, sudah disampaikan secara tertulis kepada DPRD Kota Padang Panjang dan Pemprov Sumbar.
‘’Masyarakat kami resah. Ketika masalah ini disampaikan ke pihak berwenang, kami malah disuruh melapor ke bupati Tanah Datar. Jelas tidak masuk akal. Kami warga Padang Panjang kok melapornya ke Tanah Datar. Terima kasih sekali atas berkenannya Bapak Gubernur Sumbar dan Ketua DPRD Padang Panjang Mardiansyah hadir pada dialog ini, dengan harapan kegalauan dan keresahan masyarakat bisa terobati, karena mereka mendapat kejelasan dan kepastian,’’ ujar Zulfa Hendra.
Gubernur Mahyeldi menjelaskan, pihaknya akan meminta penjelasan kepada Walikota Padang Panjang dan Bupati Tanah Datar Eka Putra, terkait dengan masalah yang meresahkan masyarakat itu. ‘’Saya akan minta penjelasan atas kesepakatan itu. Satu hal yang pasti, dalam mengambil keputusan, tentu tidak cukup hanya dengan melihat peta dan hanya meja perundingan saja, tetapi harus dilakukan peninjauan ke lapangan, sehingga tak menimbulkan masalah dan tidak pula merugikan warga,’’ ujar Mahyeldi.
Mahyeldi menilai, apa yang dilakukan walikota Padang Panjang dan bupati Tanah Datar baru bersifat kesepakatan awal. Artinya, sebut dia, masih memungkinkan untuk diperbaiki kembali. ‘’Mari duduk bersama lagi. Bila tidak selesai antara Padang Panjang dan Tanah Datar, baru nanti Pemprov turun tangan,’’ tegas Mahyeldi.
Menurut Mahyeldi, dalam menetapkan batas-batas wilayah di Sumatera Barat, semua pihak semestinya merujuk ke batas yang ada di masyarakat setempat. Bagi masyarakat Minangkabau, ujarnya, yang menjadi pedoman itu adalah batas nagari.
Ketua DPRD Kota Padang Panjang Mardiansyah juga menyebut, penetapan tapal batas Tanah Datar dan Padang Panjang itu baru kesepakatan awal. Artinya, kata dia, masih memungkinkan untuk diperbaiki. Pedoman kita, sebut dia, kesepakatan akhir. Bila itu sudah tercapai kesepakatan akhir, barulah bisa diterbitkan Permendagri terkait tapal batas tersebut.
‘’Penetapan tapal batas ini adalah pekerjaan rumah tahun 2011 yang tertunda-tunda pelaksanaannya. Tiba-tiba beberapa bulan lalu keluar perintah Menteri Dalam Negeri untuk segera dituntaskan. Nampaknya ada kealpaan Pemko Padang Panjang, karena yang digunakan dalam kesepakatan awal itu adalah peta lahan, tidak nampak pemukimannya,’’ ujar Mardiansyah. (ist)